Kegiatan Kepramukaan Se kabubaten Situbondo telah berpartisipasi dalam rangka menjaga keutuhan pramuka

Jumat, 02 Juli 2010

Kebersihan dalam Islam
Hissiyah dan jasmaniah
Bersih secara konkrit adalah kebersihan dari kotoran atau sesuatu yang dinilai kotor. Kotoran yang melekat pada badan, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya yang mengakibatkan seseorang tak nyaman dengan kotoran tersebut. Umpamanya, badan yang terkena tanah atau kotoran tertentu, maka dinilai kotor secara jasmaniah, tidak selamanya tidak suci. Jadi, ada perbedaan antara bersih dan suci. Mungkin ada orang yang tampak bersih, tetapi tak suci.
Hissiyah dan maknawiyah
Al-Quran dan hadis banyak menggunakan lafal atau kosa-kata thaharah yang mengindikasikan pada kesucian badan dari kotoran atau najis atau sesuatu yang menimbulkan ketidaknyamanan jasmaniah seseorang. Dalam Surat al-Maidah: 6 dan surat al-Nisa: 43, ayat yang mewajibkan wudlu dan atau mandi sebelum shalat, misalnya tampak mengandung dua makna sekaligus, yaitu thaharah secara hissiyah -jasmaniah (konkrit-nyata) karena dibersihkan dengan air dan thaharah maknawiah (abstrak) karena dibersihkan dengan air atau tanah ketika air itu tidak ada. Dikatakan mengandung dua makna sekaligus karena pada ayat itu disebutkan juga makna, “Sesungguhnya Allah adalah pengampun dan penyayang” pada akhir surat al-Nisa: 43 karena wudu dan mandi juga shalat adalah jalan membersihkan dosa. Kesucian secara rohani karena dia sudah dengan ketaatan, istigfar dan taubat kepada Allah. Pada ibadah-ibadah tersebut. Memang dalam kehidupan keseharian makna suci ini, sering diungkapkan kepada seseorang yang sedang haid atau dalam keadaan junub, misalnya. Orang yang sudah bersih atau suci dari haid, disebut, “Hatta yath-hurna” (al-Baqarah: 222) bila sudah mandi junub, bukan hanya dicuci.
 Sebagimana disebutkan terdahulu bahwa kebalikan dari thaharah adalah najasah atau najis. Dalam ungkapan lain ada juga istilah danas, kotor Dalam Islam istilah najis terkonsep dalam fuqaha. Mereka menetapkan bab tertentu tentang thaharah dan najis tersebut. Dahulu di kalangan fuqaha, najis itu sendiri ditetapkan sebagai berikut: Najis mughallzhah dan mukhaffafah. Dikatakan mughallazhah karena dalam membersihkannya di samping mengunakan air sebanyak tujuh kali juga najis yang dengan sekali atau dua kali cucian sudah cukup tidak lagi memerlukan tanah sebagai tambahannya.

 ikuti jejak bapak pramuka
 bapak baden powell of gilwill

Tidak ada komentar:

Posting Komentar